topbella

27 August 2007

Lobi Israel Yang Menundukkan Amerika Serikat Dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal (JIL)

Serangan Israel terhadap Palestina dan Libanon masih menyisakan kontroversi di dunia internasional. Serangan yang menyebabkan ribuan rakyat sipil Libanon maupun Palestina tewas itu telah menuai kutukan dari penjuru dunia. Tetapi Israel ternyata bergeming. Kenekatan Israel dalam melancarkan serangan itu bahkan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari negeri super power, Amerika Serikat.
Dukungan tanpa syarat inilah yang menimbulkan banyak gunjingan maupun perdebatan di kalangan akademisi maupun politisi. Dugaan pun berseliweran. Dari mulai konspirasi yang didengungkan oleh para aktivis muslim, hingga persekongkolan anti semitis yang berkembang di Eropa.

Dugaan yang berseliweran itu tiba-tiba dihentakkan oleh sebuah tulisan berjudul “The Israel Lobby” di London Review of Books, sebuah jurnal yang terbit di British, dari dua orang akademisi Amerika, Stephen Walt, guru besar di Harvad University, serta John Mearsheimer dari the University of Chicago.
Tulisan tersebut selanjutnya dikomentari oleh Tony Judt, direktur Remarque Institute di New York University. Ia menulis sebuah artikel yang berjudul “Lobby, Not a Concpiracy” dalam harian New York Times. Temuan dua penulis itulah yang membuat Jaringan Islam Liberal tertarik menjadikan tema diskusinya 22 Agustus lalu. “Lobi Israel dan Politik Luar Negeri Amerika”. Demikian tema diskusi yang berlangsung di Teater Utan Kayu itu. Hadir sebagai pembicara, seorang kandidat doktor di University of Pennsylvania, Ahmad Sahal serta kordinator Jaringan Islam Liberal, Hamid Basyaib.
Hamid yang sudah menekuni isu politik Timur Tengah dan Israel sejak tahun 90-an, malam itu sangat fasih menceritakan konteks perpolitikan, baik di Timteng maupun di Amerika. Menurutnya, paper dua akademisi di atas sungguh mengagetkan. Meski isinya bukan hal baru, tetapi ketika isu tentang lobi ini telah disuarakan oleh dua universitas mainstream di Amerika, Harvad Unversity dan University of Chicago, tentu persoalan ini sudah bukan main-main lagi, dan bukan sekadar rumor.

Israel memang diakui oleh Walt dan Mearsheimer mempunyai kekuatan lobi di mata Amerika. Demikian cerita Hamid mengawali pembicaraannya. “Lobi itu sesungguhnya adalah lembaga terbuka yang terdiri dari sejumlah organisasi dan beberapa orang dari berbagai latar belakang”, jelas Hamid. “Di antara mereka ada yang politisi, wartawan, akademisi, atau perorangan yang tidak semuaya adalah pengikut Yahudi, tetapi pro dengan Yahudi.” Salah satu lembaga lobi kuat yang dikenal sangat pro Yahudi di Amerika adalah AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). “Institusi ini merupakan satu-satunya wadah Yahudi Amerika dalam menyalurkan aspirasi politiknya”, tandas Hamid.

Diakui oleh mantan wartawan Ummat ini bahwa penganut Yahudi di Amerika mempunyai kesadaran politik yang sangat tinggi. Adanya kekuatan lobi yang diakui oleh para akademisi dan politisi di Amerika ini, dengan sendirinya meruntuhkan argumen-argumen yang selama ini berkembang tentang serangan Israel.
Walt dan Mearsheimer juga menampik beberapa argumen palsu yang dijadikan pembenaran dukungan politik luar negeri Amerika terhadap serangan Israel. Ada tiga argumen palsu yang dikutip oleh koordinator JIL malam itu dari paper Walt dan Mearsheimer di atas. Pertama, adalah karena Israel negara lemah yang terkepung oleh kekuatan negara-negara Arab di Timur Tengah. Argumen semacam ini sama sekali tidak bisa dibenarkan oleh Walt. Karena sejak peperangan di Timteng tahun ’48, ‘67, dan ’93, Israel selalu memenangkan peperangan. “Yang lemah itu justru negara Islam”, tegas Hamid menirukan pernyataan Walt.

Anggapan kedua yang tidak dapat dibenarkan atas Israel juga asumsi bahwa Israel adalah satu-satunya negara di kawasan Timteng yang bisa menjadi mitra AS dalam memerangi terorisme. Walt malah menganggap sebaliknya. “Justru dengan adanya bantuan Amerika terhadap Israel yang tanpa syaratlah yang menyebabkan suburnya terorisme di wilayah Timteng”. Hal ini secara tidak langsung diakui oleh Bin Laden pasca tragedi 9/11.

Ketiga, adalah anggapan bahwa Israel merupakan mitra demokrasi di Timteng. “Anggapan ini sangat bullshit”, ucap Hamid tegas. “Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa Israel adalah negara demokratis.” “Buktinya masyarakat Israel justru dibangun atas dasar darah”. “Pemerintah Israel juga masih mendiskriminasikan warga negaranya yang Yahudi dan yang bukan”, tambah Hamid.
Di akhir pembicaraannya Hamid menyimpulkan bahwa paper yang ditulis oleh Walt dan Mearsheimer itu adalah kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang terlalu pro Israel. “Mbok ya, kebijakan luar negeri Amerika itu lebih netral, dan tidak memihak Israel.” Selain itu paper tersebut juga mengritik sikap warga Yahudi di Amerika yang berwajah ganda. “Para pengikut Yahudi di Amerika itu meskipun berkewarganegaraan Amerika, tetapi dalam politik lebih mementingkan kepentingan Israel”, ceritanya.

Kesimpulan akhir Hamid juga diamini oleh Akhmad Sahal dalam presentasinya. Mahasiswa PHd. University of Pennsylvania ini menyatakan bahwa paper Walt dan Meirsheimer itu memang kritik atas penyelewengan Amerika atas kepentingan Amerika sendiri. “Tetapi apa sebenarnya kepentingan Amerika itu?” tanya Sahal kritis. “Pertanyaan inilah yang selalu menjadi titik tengkar di antara politisi Amerika”, terangnya.
Neokon dan Politik Luar Negeri Amerika
“Pasca 9/11 sikap politik luar negeri Amerika dinilai banyak kalangan dipengaruhi oleh sekelompok orang yang dikenal dengan Neokon.” Demikian tulis Sahal dalam makalah “Neokonservatisme dan Amerika” yang disajikan malam itu. Neokon atau Neokonservatisme menurut Sahal adalah varian dari kelompok konservatisme di Amerika. Meski demikian, neokon seringkali dibayangkan oleh banyak orang sebagai jaringan rahasia dari sekelompok elite intelektual yang mampu membajak agenda domestik dan luar negeri Amerika.

Tetapi bahwa Neokon adalah mayoritas Yahudi adalah kenyataan yang tak dapat ditampik. Pada mulanya mereka adalah sekelompok intelektual Yahudi yang berhaluan kiri jebolan City College of New York pada pertengahan ’30-an dan ’40-an. Gagasan awal mereka banyak terpengaruh oleh kaum kiri yang percaya pada ide revolusi. Tetapi pada saat yang sama mereka juga membenci komunisme dan ingin memertahankan kapitalisme dan pasar bebas di Amerika. Irving Kristoll, salah seorang bapak Neokon, pernah menyebut kelompok ini sebagai “a liberal who had been mugged by reality”.
Kekuatan lobi kelompok ini bukan saja ditunjukkan dalam serangan Israel terhadap Libanon, tetapi juga perang yang terjadi di Irak tahun 2003 lalu. Kelompok yang selalu berseberangan dengan kaum liberal Amerika ini, memandang Amerika sebagai negara besar yang harus bertanggung jawab pada negara lainnya. Kristol, misalnya, menganggap bahwa kepentingan nasional negara besar seperti Amerika ini tidaklah terbatas pada term geografis. Tetapi juga berkewajiban untuk menyelamatkan demokrasi di tempat-tempat lain sebagai ide universal yang dijunjung tinggi Amerika. Dari sinilah muncul gagasan “regime change”.

Lebih lanjut salah satu pendiri JIL ini menjelaskan bahwa kalangan neokon juga percaya bahwa Amerika sebagai negara superpower mempunyai tanggung jawab moral untuk menjadi pemimpin dalam tata dunia baru. Gagasan ini pula yang membuat Amerika gencar menghancurkan rezim Saddam di Irak. Meski serangan itu tidak membuahkan demokrasi sebagaimana yang dicita-citakan.
 
KEKUATAN CINTA© DiseƱado por: Compartidisimo